Setelah
tinggalan arkeologis, kini penelusuran jejak Budhisme melalui pemahaman agama
Budha, stupa, dan mandala yang berkaitan dengan Borobudur. Salah satu kitab
yang bisa digunakan untuk melihat bagaimana bentuk agama Buddha masa Borobudur
adalah Kitab suci Sang Hyang Kamahayanikan, yaitu kitab tantris Buddhisme yang
mendapat pengaruh atau pikiran Hindu. Memang ada banyak kitab suci agama Budha
yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok atau Tripitaka (keranjang, kelompok,
kumpulan) yaitu: (1) Dhamma (Sutta) pitaka, (2) Winayapitaka, dan (3)
Abidhammapitaka dan kesemuanya berbahasa Pali. Kitab Suttapitaka ada lima
macam buku, yaitu Digha-Nikaya (± 904 halaman), Majjhimma Nikaya (± 1092
halaman), Samyutta-Nikaya (± 1686 halaman), Anguttara-Nikaya (± 1841 halaman),
dan Khudda-Nikaya. Madzab Buddha kemudian pecah menjadi dua Hinayāna atau
Madzab Therawada atau Sarwastiwada, dan madzab Mahāyāna atau Madhyamika (jalan
tengah) atau lebih dikenal agama Budha Mahāyāna. Akhirnya menjadi aliran-aliran
yang lebih kecil yaitu: Mahasangghika, Yogacara, Tantra, Wajrayāna.
Tantrayana juga dikenal dengan aliran Mantrayana.
Sang
Hyang Kamahayanikan, beraliran Budha Mahayana dan berisi madzab Wajrayana atau
Buddha Tantrayana kanan. Di dalam madzab Tantra, Saktisme menjadi penting dalam
hal mantra-mantra atau lafal-lafal dan diagram serta mudra yang semuanya
merupakan formula rahasia (mistis). Aliran ini berkembang sekitar tahun 400-600
Masehi sedangkan ilmu Tantrisme telah berkembang sejak manusia mulai
menetap dalam bentuk masyarakat agraris. Dalam Tantrayana terdapat dua liran
besar yaitu aliran Tantrayana kiri dan Tantrayana kanan. Sedang Mahayana
dibedakan antara madzab Wamaçari (kiri) dan madzab Daksinaçari (kanan).
Aliran kiri lebih diwujudkan dengan personifikasi Dewi atau Çakti sehingga ada
yang menghubungkan dengan kecenderungan pada sex, sedangkan aliran kanan pada
personifikasi dewata.
Tantrayāna
adalah salah satu bentuk aliran Wajrayāna. Menurut para ahli Wajrayāna
merupakan aliran kanan, sebagai lawan dari aliran Amoghawajra yang digolongkan
aliran kiri. Intinya menitik beratkan pada ajaran mantra untuk mencapai
kebebasan, maka lebih dikenal dengan nama Mantrayana, yaitu ajaran kebebasan
melalui mantra. Ada aturan tertentu dalam pengucapan mantra. Misalnya, mantra
yang ditujukan untuk kekuatan dewata selalu diakhiri dengan lafal ‘Hum’ atau
‘Phat’, sedangkan untuk Dewi diakhiri dengan ‘Swaha’ (swah); kalau untuk
kedua-duanya diakhiri dengan lafal ‘Namah’. Menurut ajaran Tantra,
pelaksanaan ajaran kebaktian dalam agama harus meliputi semua aspeknya
yaitu: pikiran (citta) – suara (wak) dan badan (kaya). Ajaran
Tantra mengawinkan kebutuhan jasmaniah dengan rohani untuk mencapai tingkat
tertinggi melalui yoga. Pencapaian terakhir adalah tercapainya tingkat
kesempurnaan bathin dan pikiran (tingkat Prajñaparamita), dan mencapai
Tathāgata yaitu lima ‘Jina’ sebutan Yang menang atau Penakluk, gelar yang
diberikan kepada Buddha.
Di
dalam Tantra, kepribadian manusia adalah perwujudan skandha yang jumlahnya lima
(Pañca-skandha) yaitu lima macam alat pengetahuan yang merupakan bagian-bagian
yang tak terpisahkan dari badan materi. Konsep skandha ditingkatkan ke tingkat
Buddha yang disebut dengan istilah Dhyani Buddha. Dhyani Buddha dipersamakan
pula dengan lima bentuk Tathāgata: 1. Wairocana- pemberi sinar cahaya, 2.
Aksobhya- Ia yang tak tergoda, 3. Ratna Sambhawa- Ia adalah permata yang
terlahirkan, 4. Amitabha- sinar cahaya yang tidak terbatas, 5.
Amoghasidhi- Ia yang selalu berhasil
Dengan
demikian menjadi jelas bahwa ada hubungan antara penjelasan di dalam Kitab Sang
Hyang Kamahayanikan dengan sistem lima Dhyani Buddha yang diterapkan di Candi
Borobudur pada teras bujursangkar.
Di
dalam Kitab Sang Hyang Kamahayanikan dijelaskan bahwa masa (waktu) dibagi
menjadi tiga yaitu masa lampau (atīta), masa kini (wartamana), dan masa yang
akan datang (anagata) dan masing-masing masa ada Buddha. Masa lalu ada Bhatara
Wipaçye, Wiçwabhu, Krakucchanda, Kanakamuni, Kāçyapa. Budaha yang akan lahir di
masa datang adalah Maitreya, Samntabhadra, dan Buddha yang sekarang adakah
Sakyamuni yang berarti pendeta (muni) dari suku Sakya, gelar yang diberikan
kepada Siddharta setelah menjadi Buddha. Sebelum menjadi Buddha, Sidharta juga
mendapat sebutan Sang Hyang Samādhi. Dijelaskan pula bahwa Bhatara
Sakyamuni dapat menaklukkan Māra yang diartikan sebagai pikiran jahat atau
pikiran yang menggoda. Menurut arti pengertiannya adalah penyebab penderitaan
yang bersumber pada kekotoran (klesa), ikatan jasmaniah (benda-benda fisik
(skandha), kematian (mrtyu), dan kejadian sebagai putra dewa (dewaputra). Klesa
adalah noda duniawi, seperti kemabukan (mada), ambisi (dambha), kesrakahan
(lobha), kebodohan (moha), nafsu kuasa (rajah), dan ketamakan (tamak). Moha
adalah sumber kejahatan.
Sang
Hyang Kamahayanikan menyebutkan bahwa pokok ajaran Sang Buddha adalah
mengajarkan kebenaran laksana lingkaran atau roda (dharmacakra = roda kebenaran)
dari sebab akibat dimana sebab yang satu adalah timbul dari akibat yang lain.
Istilah untuk ini adalah Catur Arya dan Bhāwa Cakra, keduanya merupakan ajaran
pokok Buddha. Catur Arya yaitu: (1) pengakuan bahwa hidup itu menderita, (2)
penderitaan itu ada sebab-sebabnya, (3) sebab-sebab penderitaan dapat
dilenyapkan, dan (4) ada jalan atau cara-cara untuk melenyapkan
penderitaan. Adapun Bhāwa Cakra adalah lingkaran kehidupan yang
menggambarkan bahwa hidup adalah sebab dan akibat satu dengan yang lain yang disebut
hukum Praticca Samuppada. Hidup sekarang adalah akibat dari hidup yang lalu dan
yang sekarang adalah sebab untuk timbulnya akibat yang akan datang. Kesemua
sebab berjumlah dua belas.
Sangat
penting diperhatikan ayat 34 di dalam Sang Hyang Kamahayanikan menyebutkan:
“apan ikang wwang awajñā, awamana, masampe guru, ya ikāmulih ring naraka,
tibā ring kawah sang Yama, pinakahitip ring tāmragomuka; mangkana pāpa ning
wwang awamawana maguru”. Artinya: “Sebab orang yang memandang rendah
bathin sang guru, menghina, menentang kepada guru, ia akan selalu menderita,
jatuh ke dalam kawah Dewa Yama, menjadi kerak tamragomuka, demikian papa
nerakanya orang yang durhaka kepada guru”.
Di
dalam relief Maha Karmawibhangga pada kaki tersembunyi digambarkan macam-macam
neraka. Di antara relief penggambaran konsep hukum karma dan gambaran surga –
neraka pada kaki candi Barabudur adalah: (1) berumur pendek- alpa-ayus, (2)
berumur panjang -dirgha-ayus, (3) hidup sehat-
bahu-abadha, (4) hidup sehat- alpa-abadha, (5) hidup menyenangkan- prasadhika,
(6) kurang wibawa-alpesakhya,(7)penuh wibawa-mahesakhya, (8) sebagai keluarga
rendah-nisa-kula, (9) sebagai keluarga tinggi-ucca-kula, (10) orang
miskin-alpa-bhoga, (11) orang kaya-mahabhoga, (12) orang bodoh-dusprajña, (13)
orang pandai-mahaprajña, (14) siksa neraka-neraka sañjiva, (15) siksa neraka-
neraka kalasutra, (16) siksa
neraka -neraka samghata, (17) siksa neraka -neraka raurava, (18) siksa neraka
-neraka maha raurava, (19) siksa neraka-neraka tapana, (20) siksa neraka-neraka
pratapana, (21) siksa neraka-neraka avici, (22) siksa neraka-kukula, (23) siksa
neraka-kunapa, (24) siksa neraka-ksuradhara, (25) siksa neraka-ayahsalmalivana,
(26) siksa neraka –asipattravana, (27) siksa neraka-ksaranadi
.
Gambaran
hukum karma tersebut dengan jelas ditunjukkan oleh beberapa relief dan secara
teknis pembedaan antara sebab dan akibat ditandai dengan gambar pohon. Pemisah
adegan dengan gambar pohon mengingatkan kita pada pertunjukan wayang kulit
(wayang purwa) yang juga menggunakan ‘kayon’ atau ‘gunungan’ sebagai penanda
pergantian adegan. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa penggunaan ‘kayon’
dalam pertunjukan wayang kulit telah dimulai sejak abad ke-9.
Di
antara penjelasan tentang jenis perbuatan serta akibatnya adalah sebagai
berikut: Umur pendek, perbuatan buruk yang mengakibatkan dilahirkan kembali
atau Umur panjang, soal perbuatan baik yang menyebabkan seseorang dilahirkan
dengan umur panjang. Penderitaan atas suatu penyakit; Cacat fisik dan buruk
rupa; tentang orang yang berwajah menarik atau sebaliknya orang yang rendah dan
hina; Dilahirkan menjadi orang yang terhormat; Dilahirkan kembali menjadi orang
hina; Dilahirkan menjadi orang kelas atas; Dilahirkan menjadi orang yang miskin
tidak memiliki harta benda; dan penjelasan penerima siksaan di neraka.
Jenis
dan tipe neraka yang digambarkan karena kekejaman orang melakukan kejahatan
fisik, kejahatan oral, kejahatan pikiran, menyangkal dan menolak Hukum
Sebab-akibat, tidak mau bersyukur itu antara lain:
Neraka Sanjiva.
Neraka
Sanjiva adalah neraka yang macam siksaannya adalah tubuhnya
dipotong-potong dan kemudian dihancurleburkan. Ada juga siksaan berupa
pertumbuhan kuku jari-jarinya panjang dan runcing eperti pisau, kemudian mereka
saling berkelahi satu sama lain menyerang dengan kuku-kukunya yang tajam
tersebut. Siksaan ini dilukiskan dalam relief nomor 0-86b.
Neraka
Utsada.
Neraka Utsada adalah neraka yang terletak di antara neraka Sanjiva dan
neraka Kalasutra. Relief nomor 0-86c dan d tampaknya menlukiskan neraka
Utsada. Sebagai gambaran penyebabnya adalah seseorang yang sedang menyembelih
dan kemudian menguliti kambing. Gambaran siksaanya adalah ia dibelah kepalanya
dengan gergaji, sementara penyiksa yang lain memperhatikan dengan memegang
pisau besarnya.
Neraka
Samghata.
Gambaran penyiksaan di neraka Samghata di relief Barabudur nomor
0-87a dan b. Di neraka Samghata siksaanya adalah dijepit di antara dua gunung.
Kemudian tubuhnya di injak gajah. Penyebabnya adalah ketika masa hidupnya ia mebunuh
binatang, membakar rumah (liang) binatang.
Neraka
Raurava dan Maharaurava.
Gambaran siksaan di neraka Raurava dan Maharaurava
lebih mengerikan lagi. Orang dipedang kepalanya, tubuhnya ditusuk dengan pedang
panjang di pohon.
Neraka
Tapana.
Neraka Tapana adalah neraka api karena semasa hidupnya telah menyiksa
dan memukuli orang tuanya. Relief nomor 0-88c dan d. Dalam relief digambarkan
seekor anjing telah memakan salah satu kaki orang yang disiksa dan
kemudian membawanya ke sebuah rumah yang penuh api.
Neraka
Pratapana.
Relief Barabudur nomor 0-89a dan b kemungkinan sekali menggambarkan
siksaan di neraka Pratapana. Orang dengan senangnya mencari kura-kura yang
kemudian direbus untuk dimakan. Siksaan di neraka Pratapana adalah meraka
direbus di dalam sebuah bejana besar.
Neraka
Avici.
Neraka Avici adalah neraka yang siksaannya tidak pernah berhenti atau
terus-menerus. Dalam relief Barabudur nomor 0-89c dan d. Gambaran
siksaanya orang dilemparkan ke lautan api karena ketika hidupnya telah membunuh
korban yang tidak berdosa yaitu ayahnya dan ibunya sendiri. Dalam hal ini
membunuh ayah dan ibu kandung akan mengalami siksaan berat dan tidak berhenti.
Neraka
Kukula.
Neraka Kukula adalah neraka ‘abu yang terbakar’ dan gambaran tentang
neraka Kukula adalah relief Barabudur nomor 0-90a dan b. Seseorang yang masuk
di neraka Kukula tubuhnya akan masuk ke dalam abu yang sangat panas yang
kemudian membakar kulit dan dagingnya seperti ‘malam’ yang meleleh di
dalam api. Ketika ia mengangkat kakinya, daging daan kulit akan tumbuh lagi,
tetapi kemudian kembali dimasukkan ke neraka lagi, demikian secara
terus-menerus. Orang yang mengalami siksaan di neraka Kukula tersebut karena
semasa hidupnya telah melakukan perbuatan yang sekarang disebut dengan
istilah ‘ma lima’.
Neraka
Kunapa.
Neraka Kunapa adalah kelanjutan dari neraka Kukula. Setelah keluar dari
neraka Kukula, tubuhnya kembali pulih. Namun kemudian dimasukkan ke dalam
neraka Kunapa. Di dalam neraka ini, ia akan dimakan berbagai macam serangga
yang tidak hanya memakan dagingnya saja, bahkan serangga masuk ke dalam
tubuhnya melalui lubang hidung, telinga, kemudian menggerogoti organ dalam.
Borobudur
adalah Stupa Besar
Stupa
berasal dari akar kata ‘stup’, yang berarti ‘to accumulate, to gather together.
Dalam istilah arsitektural adalah sebuah monument yang berbentuk dome yang
diletakkan di atas relic Sang Buddha. Jadi stupa dapat diartikan sebagai
‘sepulchral monument’ yang biasa terdapat pada setiap Candi Buddha. Stupa
kadangkala dibuat dalam bentuk miniature, juga sebagai votive gift. Pembangunan
stupa adalah pekerjaan kebaktian karena akan mendatangkan kebaikan, dijelaskan
di dalam naskah Mahayana tentang kebaikan yang akan diperoleh karena mendirikan
stupa seperti kelahiran kembali yang baik. Bahwa barangsiapa membangun stupa,
bahkan anak kecil sekalipun hanya bermain-main tanah pasir tapi dengan niat
untuk dipersembahkan kepada Jina, akan memperoleh pencerahan karena stupa stupa
secara simbolik melambangkan dharmma.
Stupa
memiliki tiga fungsi: sebagai relic berisi abu Sang Buddha atau symbol
dharma, sebagai memorial menandai lokasi sebuah peristiwa selama Buddha hidup,
dan juga sebagai persembahan sesaji. Menurut legenda kuna di India, ketika Sang
Buddha memasuki parinirwana tubuhnya kemudian dikremasi dan abunya dikumpulkan.
Delapan orang raja kemudian berselisih memperebutkan sisa abu untuk dimiliki di
kerajaannya. Akhirnya seorang pendeta bernama Drona mendamaikan dengan
cara membagi abu menjadi 8 bagian. Masing-masing raja membawa abu
yang menjadi bagiannya ke negaranya dan di sana ditempatkan di dalam sebuah
stupa. Drona juga mendirikan stupa untuk menempatkan sebuah bejana yang tadinya
digunakan untuk menyimpan abu sebelum diperebutkan.
Raja
Asoka kemudian membagi abu yang tersimpan menjadi 84.000 bagian dan
masing-masing bagian ditempatkan di dalam sebuah stupa yang didirikan di
seluruh wilayah India. Stupa berisi sisa abu atau benda lain yang berkaitan
dengan kehidupan Buddha sebagai ‘inti’ yang akan menyebabkan bangunan menjadi
hidup karena relic sang Buddha pada hakikatnya dapat menghidupkan stupa. Namun
demikian, tidak setiap stupa berisi relic, mungkin dibangun berkaitan dengan
peristiwa hidup Sang Buddha. Kitab Mahāparinibānna Sutta Sang Buddha telah
mengisahkan empat tempat yang harus diziarahi oleh umat Buddha setelah beliau
wafat, yaitu: tempat kelahirannya, tempat memperolah pencerahan (wahyu), tempat
ketika memberikan ajarannya yang pertama, dan tempat ketika beliau memasuki
parinirwana yaitu di Kapilawastu tempat kelahiran, di Bodhgaya tempat menerima
pencerahan, di Taman Rusaa Varanasi tempat kotbah pertama, dan di Kusinagara
tempat wafatnya. Sejak Sang Buddha memasuki parinirwana maka banyak stupa
dibangun di berbagai belahan dunia.
Struktur
bangunan stupa pada umumnya terbagi menjadi tiga bagian yaitu: dasar
bujursangkar atau lingkaran, di atasnya adalah bagian badan stupa yang
berbentuk bola (anda), dan di atasnya berupa pinakel(harmika) yang diberi
hiasan motif payung (catra). Masing-masing bagian tersebut mempunyai makna
simbolik. Setiap bentuk stupa memiliki aksis vertical. Badan stupa berkembang
ke segala arah vertical maupun horizontal berasal dari aksis tersebut.
Stupa
dan Mandala
Dalam
bahasa Sanskrta, mandala berarti ‘lingkaran, space pusat yang digunakan untuk
ritual’. Bentuknya sebuah lingkaran dibingkai garis bujur sangkar, digambarkan
di permukaan tanah dengan sejenis tepung, atau dengan outline sebuah benang,
atau digambar pada sebuah lembaran kain/kertaas. Orientasi sebuah stupa
adalah mandala, artinya perancangan tataletak stupa sama dengan menyusun sebuah
mandala. Maka, Candi Borobudur sebagai stupa besar adalah sebuah mandala yaitu
mandala massif (solid). Ia membentuk mandala lima Jina-Buddha, yang
masing-masing menguasai mata angin: Vairocana di pusat, Aksobhya di timur,
Ratnasambhawa di selatan, dan Amitabha di barat, Stupa seperti ini dengan lima
Jina Buddha adalah ekspresi vajra-dhātu-mandala.
Menutup
uraian ini kian memperjelas bahwa berbicara candi borobudur ibaratnya membahas
sebuah buku teks. Banyak informasi yang tertera di dalam bangunan candi seperti
Borobudur, membahasnya dalam konteks ruang, bentuk, dan waktu.
Serial
terakhir dari paparan Prof. Dr. Timbul Haryono berjudul CANDI BOROBUDUR DALAM
BINGKAI PERKEMBANGAN BUDHISME DI JAWA: PERSPEKTIF HISTORIS-ARKEOLOGIS, disampaikan
dalam Seminar DPD HPI DIY berjudul Membaca Siddhartha & Budhisme di Candi
Borobudur hari Sabtu, 16 Mei 2009 Pukul 09.00 – 13.00 WIB di Aula Dinas
Pariwisata Propinsi DIY.
Indah....................
BalasHapusPerjalanan kehidupan terurai di kitab peninggalan leluhur kita orang jawa.
Betapa Roman Rohim-Nya Tuhan Yang Esa. Amien.